Kamis, 26 Juni 2014

Setumpuk Rindu untuk Ibu Kita

Setumpuk Rindu untuk Ibu Kita.
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Jika Allah Ta'ala berikan umur panjang, apakah yang paling engkau harap ketika tengah malam belum sanggup terlelap? Saat tulang kita mulai rapuh dan keriput di wajah kita serupa dengan "keriputnya" tenaga kita, apakah yang paling kita harap dari anak kita? Atas harapan kita kepada mereka, apakah yang telah kita kerjakan pada saat-saat berharga untuk anak kita?

Apakah yang mereka rasakan? Di saat engkau belum sanggup terlelap, sedang apakah ibumu malam ini? Gelisahkah? Atau tertidur lelap? Atau menanti do'amu di alam sana? Ataukah ia sedang berusaha selimuti badannya yang menggigil? Sementara tangannya sudah tak cukup kuat untuk menarik selimut dengan sempurna.

Saat kita merasa begitu segar di pagi ini, orangtua kita barangkali sedang berusaha keras hanya untuk bisa duduk dengan tegak.

Berbahagialah yang pagi dapat menemani orangtua duduk berbincang sembari menyeruput secangkir teh. Berbincang hangat, sigap mendengarkan.

Kapan terakhir kali engkau berbincang hangat dengan orangtua? Ngobrol. Menghabiskan waktu bersamanya dengan sengaja melapangkan waktu. Melapangkan waktu untuk berbincang. Bukan sekedar sama-sama meminum teh di tempat yang sama, sementara tangan kita sibuk tulis SMS.

Melapangkan waktu membersamai orangtua sembari mendengarkan ceritanya yang sudah berulang kali disampaikan. Bukan hanya mematung bosan. Melapangkan waktu untuk orangtua sampai mereka berpamitan melakukan yang lain. Bukan sibuk mencari celah untuk berpamitan.

Sudahkah engkau do'akan orangtuamu hari ini? Do'akan husnul khatimah jika mereka masih hidup. Bukan mendo'akan segera wafat.

Sudahkah kita lalui saat berharga untuk anak dengan menyematkan rasa rindu di hati mereka. Betapa kering pertemuan antara mereka dan kita di saat tua jika tanpa kerinduan. Betapa hambar kedekatan kita secara fisik, jika kerinduan itu tak ada di hati kita.

Rabu, 25 Juni 2014

PENDIDIKAN PESANTREN

Penggagas Global Village Dr Romeo Rissal menyayangkan pemerintah yang belum terlalu memperhatikan pendidikan di pesantren. Padahal pesantren memiliki potensi yang luar biasa. Salah satu dampaknya, sekolah di pesantren hingga saat ini dinilainya masih dikelola dengan seadanya.

“Membiarkan kualitas pendidikan seadanya lebih berbahaya daripada membiarkan korupsi di suatu negara,” ujarnya, saat mengisi acara Curah Gagasan Konsep Pendidikan Berbasis Kebutuhan Global Menuju Indonesia Memimpin di Kalimulya, Depok, Jawa Barat, Rabu (25/6/2014) pagi.

Pada acara yang digelar Baitul Maal Hidayatullah (BMH) itu, Romeo mengatakan, dia sudah sering mengunjungi berbagai pondok pesantren se-Indonesia. Kesimpulannya, pesantren tersebut luar biasa tapi realitasnya masih biasa-biasa saja.

“Kita ada sekitar 28 ribu pesantren di Indonesia,” ujarnya sebagai pemateri pertama pada acara yang digelar di Aula Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Hidayatullah (STIEHID) itu.

Menurut Romeo, ada beberapa problem utama yang dihadapi pesantren. Di antaranya soal kesejahteraan para guru, kualitasnya, dan lulusannya.

“Banyak sekali pesantren yang (gaji) ustadz-ustadznya dibawah UMR, banyak sekali. Ini kita bicara kesejahteraan. Belum lagi kualitas dan output-nya,” ungkapnya.

Dia pun mengkritik pemerintah yang sebetulnya, kata dia, “Sangat aneh kalau pemerintah kasih uang ke pesantren sangat kecil dibanding ke sekolah umum.”

Romeo pun tak luput mengkritisi pesantren-pesantren moderen. Dia melihat, rata-rata pesantren disebut moderen ketika sudah memasukkan mata pelajaran seperti fisika, kimia, dan sebagainya.

“Itu (sudah) benar,” akunya.

Namun, lanjutnya, dalam konteks sekolah kepemimpinan, semestinya pesantren lebih menekankan pembangunan sikap kepemimpinan pada tiap anak didiknya.

Pemimpin bukan Penghafal

Romeo tidak setuju ketika sebuah lembaga kepemimpinan justru mengedepankan teori tipe-tipe kepemimpinan yang bermacam-macam. Menurutnya, pemimpin tidak menghafalkan teori.

Lebih baik, sarannya, sekolah kepemimpinan menanamkan jiwa kepemimpinan pada diri muridnya sejak dini. Seperti membangun sikap disiplin, kompetisi, semangat, kemampuan, dan membangun hubungan sosialnya dengan bagus.

“Harus dimulai dari anak-anak yang ada di Hidayatullah ini, dari kecilnya. Dasarnya adalah di dalam diri orang itu sendiri,” ujarnya.

Sedangkan menghafal teori-teori kepemimpinan, menurutnya, tidak bisa membuat seseorang jadi pemimpin.

Acara curah gagasan ini digelar selama sehari, sejak sekitar pukul 08.00-15.00 WIB, dihadiri para pengurus Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Depok, termasuk kalangan pendidikan.

Sejumlah tokoh diagendakan menjadi pemateri, di antaranya Prof Dr Imam Suprayogo (UIN Malang), Nizma Agustjik (aktivis kemanusiaan di London), Rusmanto (Ketua Asosiasi Open Source Indonesia), Dr Abdul Mannan (Ketua Umum PP Hidayatullah), dan Abraham Samad (Ketua Komisi Pemberantasa Korupsi).*

Rep: Muh. Abdus Syakur
Editor: Cholis Akbar
Sumber: Hidayatullah.com

Sabtu, 21 Juni 2014

BAHAYA MENINGGALKAN SHALAT

 
                                               Bahaya Meninggalkan Shalat
                                                                                                          Ahad, 22 juni 2014

1.      Meninggalkan Shalat Merupakan Kekufuran 

Allah subhanahu wata’ala berfirman mengenai orang-orang Musyrikin, artinya,
"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (at-Taubah:11)
Yakni, jika mereka bertaubat dari kesyirikan dan kekufuran mereka, mendirikan shalat dengan meyakini kewajibannya, melaksanakan rukun-rukunnya dan membayar zakat yang diwajibkan, maka mereka adalah saudara di dalam agama Islam. Jadi, yang dapat difahami dari ayat ini, bahwa siapa saja yang ngotot melakukan kesyirikan, meninggalkan shalat atau menolak membayar zakat, maka ia bukan saudara kita dalam agama Islam.
Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
“(Pembeda) antara seseorang dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR.Muslim)
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Aku khawatir tidak halal bagi laki-laki (suami) diam bersama isteri yang tidak melakukan shalat, tidak mandi jinabah dan tidak mempelajari al-Qur'an.”
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama seputar jenis kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena bermalas-malasan meskipun menyakini kewajibannya, maka yang pasti perbuatan itu amat dimurkai. 
 2.      Meninggalkan Shalat Merupakan Kemunafikan.

Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia dan tidaklah mereka menyebut Allah melainkan sedikit sekali." (an-Nisa`:142)

Yakni, mereka, di samping melakukan shalat karena riya`, juga bermalas-malasan dan merasa amat berat melakukannya, tidak mengharap pahala dan tidak meyakini bahwa meninggalkannya mendapat siksa.
 3.      Meninggalkan Shalat Menjadi Sebab Mendapatkan Su’ul Khatimah

Imam Abu Muhammad ‘Abdul Haq rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa Su’ul Khatimah -semoga Allah melindungi kita darinya- tidak akan terjadi terhadap orang yang kondisi lahiriahnya lurus (istiqamah) dan batinnya baik. Alhamdulillah, hal seperti ini tidak pernah didengar dan tidak ada yang mengetahui pernah terjadi. Tetapi ia terjadi terhadap orang yang akalnya rusak dan ngotot melakukan dosa besar. Bisa jadi, kondisi seperti itu menguasainya lalu kematian menjem-putnya sebelum sempat bertaubat, maka syaithan pun memperdayainya ketika itu, nau'udzu billah. Atau dapat terjadi juga terhadap orang yang semula kondisinya istiqamah, namun kemudian berubah dan keluar dari kebiasaannya lalu terus berjalan ke arah itu sehingga menjadi sebab Su’ul Khatimah baginya.” (At-Tadzkirah: 53)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesung-guhnya ukuran semua amalan itu tergantung kepada kesudahannya.” (HR. Bukhari)
Sementara orang yang melakukan shalat tetapi buruk dalam mengerjakannya, dia terancam mendapat Su’ul Khatimah, maka terlebih lagi dengan orang yang sama sekali tidak 'menyapa' shalat?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang yang shalat tetapi tidak sempurna dalam ruku'nya, ia seperti orang yang mematok-matok di dalam sujud shalatnya, maka beliau bersabda mengenainya, “Andai ia mati dalam kondisi seperti ini, maka ia mati bukan di atas agama Muhammad.” (Hadits Hasan)
 4.      Meninggalkan Shalat Menjadi Slogan Penghuni Neraka Saqar

Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya:
“Tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. (Neraka Saqar) adalah pembakar kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)." (Al-Muddatstsir: 27-30)

Dan firman-Nya, artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Kecuali golongan kanan. Berada di dalam surga, mereka tanya menanya. Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa. ‘Apakah yang memasukkan kamu ke dalam (neraka) Saqar? Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama orang-orang yang membicarakannya.” (Al-Muddatstsir: 38-45)
Jadi, orang-orang yang meninggalkan shalat tempatnya di neraka Saqar. 
 5.      Meninggalkan Shalat Merupakan Sebab Seorang Hamba Dipecundangi Syaithan
Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda,
 “Tidaklah tiga orang yang berada di suatu perkampungan ataupun di pedalaman, lalu tidak mendirikan shalat di antara sesama mereka melainkan syaithan akan mempecundangi mereka. Karena itu, hendaklah kalian bersama jama'ah sebab srigala hanya memakan kambing yang sendirian.” (Hadits Hasan) 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa,“Syaithan adalah srigala atas manusia yang merupakan musuh bebuyutannya. Maka sebagaimana burung yang semakin berada di ketinggian, semakin jauh dari petaka, sebaliknya, semakin berada di tempat rendah, petaka akan mengintainya, demikian pula halnya dengan kambing yang semakin dekat dengan penggembalanya, semakin terjaga keselamatannya, semakin ia menjauh, semakin terancam bahaya.”
(Sumber: As-Shalah Limadza? Muhammad bin Ahmad al-Miqdam)
Demikian di antara bahaya meninggalkan shalat, dan tentunya masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lain. Semoga dapat memotivasi kita di dalam meningkatkan kualitas shalat kita dan menjadi pengingat tentang besarnya urusan shalat sehingga tidak meninggalkannya. (Abu Hafshah)

// Agar Shalat Menjadi Hal Yang Besar Di Mata Kita //
Berikut ini langkah-langkah yang inysa-Allah akan menjadikan kita memandang shalat sebagai masalah yang besar: 
  • Menjaga waktu-waktu shalat dan batasan-batasannya. 
  • Memperhatikan rukun-rukun, wajib dan kesempurnaannya.  
  •  Bersegera melaksanakannya ketika datang waktunya.  
  •  Sedih, gelisah dan menyesal ketika tidak bisa melakukan shalat dengan baik, seperti ketinggalan shalat berjama’ah dan menyadari bahwa seandainya shalatnya secara sendirian diterima oleh Allah subhanahu wata’ala, maka dia hanya mendapatkan satu pahala saja. Maka berarti dirinya telah kehilangan pahala sebanyak dua puluh tujuh kali lipat.  
  • Demikian pula ketika ketinggalan waktu-waktu awal yang merupakan waktu yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, atau ketinggalan shaf pertama, yang jika orang mengetahui keutamaannya tentu mereka akan berundi untuk mendapatkannya.
  • Kita juga bersedih manakala tidak mampu mencapai khusyu’ dan tidak dapat menghadirkan segenap hati ketika menghadap kepada Rabb Tabaraka Wata’ala. Padahal khusyu’ adalah inti dan ruh shalat, karena shalat tanpa ada kekhusyu’an maka ibarat badan tanpa ruh. 

Oleh karena itu Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak khusyu’ meskipun dia telah gugur kewajibannya. Dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya, karena seseorang itu mendapatkan pahala shalat sesuai dengan kadar kekhusyu’an dan tingkat kesadaran dengan kondisi shalatnya itu. 
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba melakukan shalat dan dan tidaklah dia mendapatkan pahala shalatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau setengahnya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud dihasankan Al-Albani)
Oleh karenanya beliau menegaskan dalam sabdanya, “Jika kalian berdiri untuk shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang akan meninggalkan dunia.”(HR Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani). 
Sumber: 1. Ash-Shalâh, Limâdza?, Muhammad bin Ahmad al-Miqdam, Dâr Thayyi-bah, Mekkah al-Mukarramah). 2. Hayya ‘alash shalah,Khalid Abu Shalih, hal 12-13, Darul Wathan. 

Selasa, 17 Juni 2014

Prinsip - Prinsip Dasar Ekonomi Syariah

Tiga dekade yang lalu, Bank Syariah sebagai representasi keuangan Islam, belum dikenal oleh masyarakat. Kini sistem keuangan syariah telah beroperasi di lebih dari 55 negara yang pasarnya tengah bangkit dan berkembang (Lewis dan Algaoud, 2007).
Meskipun pemikiran ekonomi syariah baru muncul beberapa tahun terakhir ini di negara-negara muslim, namun ide-ide tentang ekonomi Islam dapat dirunut dalam Alquran yang di turunkan pada abad ke-7.
Makna harfiah syari’ah adalah “jalan menuju mata air”, dan dalam pengertian teknis berarti sistem hukum dan aturan perilaku yang sesuai dengan Alquran dan Hadist, seperti yang dituntunkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, kaum muslim tidak dapat memilah perilaku mereka ke dalam dimensi religius dan dimensi sekuler. Selain itu, tindakan mereka harus selalu mengikuti syariah sebagai hukum Islam.
Adapun prinsip-prinsip keuangan syariah meliputi:
  1. Riba
    Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Sedangkan menurut istilah teknis riba berarti pengambilan dari harta pokok atau modal secara batil (Antonio, 1999). Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba. Namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
    Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.
    Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Riba Jahiliyyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utang pada waktu yang telah ditetapkan.
    Riba Fadhl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. RibaNasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau penambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
  2. Zakat
    Zakat merupakan instrumen keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Keadilan dan kesetaraan berarti setiap orang harus memiliki peluang yang sama dan tidak berarti bahwa mereka harus sama-sama miskin atau sama-sama kaya.
    Negara Islam wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan minimal warga negaranya, dalam bentuk sandang, pangan, papan, perawatan kesehatan dan pendidikan (QS. 58:11). Tujuan utamanya adalah untuk menjembatani perbedaan sosial dalam masyarakat dan agar kaum muslimin mampu menjalani kehidupan sosial dan material yang bermartabat dan memuaskan.
  3. Haram
    Sesuatu yang diharamkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah sesuai yang telah diajarkan dalam Alquran dan Hadist. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa praktek dan aktivitas keuangan syariah tidak bertentangan dengan hukum Islam, maka diharapkan lembaga keuangan syariah membentuk Dewan Penyelia Agama atau Dewan Syariah. Dewan ini beranggotakan  para ahli hukum Islam yang bertindak sebagai auditor dan penasihat syariah yang independen.
    Aturan tegas mengenai investasi beretika harus dijalankan.  Oleh karena itu lembaga keuangan syariah tidak boleh mendanai aktivitas atau item yang haram, seperti perdagangan minuman keras, obat-obatan terlarang atau daging babi. Selain itu, lembaga keuangan syariah juga didorong untuk memprioritaskan produksi barang-barang primer untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.
  4. Gharar dan Maysir
    Alquran melarang secara tegas segala bentuk perjudian (QS. 5:90-91). Alquran menggunakan kata maysir untuk perjudian, berasal dari kata usr (kemudahan dan kesenangan): penjudi berusaha mengumpulkan harta tanpa kerja dan saat ini istilah itu diterapkan secara umum pada semua bentuk aktivitas judi.
    Selain mengharamkan judi, Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang mengandung unsur judi. Hukum Islam menetapkan bahwa demi kepentingan transaksi yang adil dan etis, pengayaan diri melalui permainan judi harus dilarang.
    Islam juga melarang transaksi ekonomi yang melibatkan unsur spekulasi, gharar(secara harfiah berarti “resiko). Apabila riba dan maysir dilarang dalam Alquran, maka gharar dilarang dalam beberapa hadis. Menurut istilah bisnis, gharar artinya menjalankan suatu usaha tanpa pengetahuan yang jelas, atau menjalankan transaksi dengan resiko yang berlebihan. Jika unsur ketidakpastian tersebut tidak terlalu besar dan tidak terhindarkan, maka Islam membolehkannya (Algaoud dan Lewis, 2007).
  5. Takaful
    Takaful adalah kata benda yang berasal dari kata kerja bahasa arab kafala, yang berarti memperhatikan kebutuhan seseorang. Kata ini mengacu pada suatu praktik ketika para partisipan suatu kelompok sepakat untuk bersama-sama menjamin diri mereka sendiri terhadap kerugian atau kerusakan. Jika ada anggota partisipan ditimpa malapetaka atau bencana, ia akan menerima manfaat finansial dari dana sebagaimana ditetapkan dalam kontrak asuransi untuk membantu menutup kerugian atau kerusakan tersebut (Algaoud dan Lewis, 2007).
    Pada hakikatnya, konsep takaful didasarkan pada rasa solidaritas, responsibilitas, dan persaudaraan antara para anggota yang bersepakat untuk bersama-sama menanggung kerugian tertentu yang dibayarkan dari aset yang telah ditetapkan. Dengan demikian, praktek ini sesuai dengan apa yang disebut dalam konteks yang berbeda sebagai asuransi bersama (mutual insurance), karena para anggotanya menjadi penjamin (insurer) dan juga yang terjamin (insured).
    Prinsip Bagi Hasil
    Gagasan dasar sistem keuangan Islam secara sederhana didasarkan pada adanya bagi hasil (profit and loss sharing). Menurut hukum perniagaan Islam, kemitraan dan semua bentuk organisasi bisnis didirikan dengan tujuan pembagian keuntungan melalui partisipasi bersama.  Mudharabah dan musyarakah adalah dua model bagi hasil yang lebih disukai dalam hukum Islam.
    Mudharabah (Investasi)
    Mudharabah dipahami sebagai kontrak antara paling sedikit dua pihak, yaitu pemilik modal (shahib al mal atau rabb al mal) yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, dalam hal ini pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Dalammudharabah, pemilik modal tidak mendapat peran dalam manajemen. Jadi mudharabah adalah kontrak bagi hasil yang akan memberi pemodal suatu bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang mereka biayai. (Algaoud dan Lewis, 2007)
    Musyarakah (Kemitraan)
    Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua belah pihak  atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.