Jumat, 03 Oktober 2014

Shalat Sunnah Rawatib


Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib
4 Oktober 2014

Shalat, shalat rawatib, shalat sunnah, Sunnah, tata cara shalat

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.
Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).
Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:

1. Keutamaan Sholat Rawatib

Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)
Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.
Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)


2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)


3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).”  (HR. Muslim no. 726)
Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)


4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib

Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)


5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)


6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?

As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)


7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)


8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)
As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)


9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315).
As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ Fatawa 11/390).


10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib

Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat Nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/295)


11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)


12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib

Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/90)


13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang

Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-qodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad  1/308)


14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)
Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?“. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, Tasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)
As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)


15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)


16. Pengurutan Ketika Mengqodho’

As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)


17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)



18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)


19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Dhuha

As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)


20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikharah

Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)


21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan

Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu“. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)
An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)


22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..“, akan tetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)


23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?

As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho'”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 609)


24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)


25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama'”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)


26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)


27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib

As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?
Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)


28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)


29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”.


30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama': (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapayang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan fuqoha': (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)


Faedah:
Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)
Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.
Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin
Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H

Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-‘Anziy
Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)
Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra
Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.






Selasa, 30 September 2014

JAUH DEKAT BERPAHALA

Jauh-Dekat Berpahala

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الأَبْعَدُ فَلْأَبْعَدُ مِنَ الْمَسْجِدِ أَعْظَمُ أَجْراً- أبو داود
Artinya: Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Yang lebih jauh. Maka yang lebih jauh (rumah) dari masjid lebih banyak pahalanya”. (Riwayat Al Hakim dan beliau menshahikannya)
Jauh-Dekat Berpahala

Dari hadits di atas Al Allamah Abdurrauf Al Munawi menjelaskan bahwa setiap bertambah jauh jarak rumah dengan masjid maka bertambah pula pahala, karena banyaknya langkah yang ditempuh.

Dan ini sejalan dengan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa Rasulullah melarang para sahabat menjual rumah mereka dikarenakan jauh dengan masjid, hingga beliau bersabda,”Sesungguhnya bagi kalian setiap langkah adalah satu derajat”.

Hal ini tidak bertentangan dengan periwayatan yang menunjukkan fadhilah dekatnya rumah dengan masjid. Pada asalnya memang rumah yang dekat masjid lebih utama dibandingkan dengan rumah yang jauh darinya, hingga seluruh keluarga dari kabilah Bani Salamah ingin menjual rumah mereka yang jauh dari masjid untuk pindah ke daerah yang lebih dekat dengannya. Melihat hal itu maka Rasulullah tidak menyukainya karena menyebabkan wilayah terluar Madinah menjadi kosong hingga akhirnya beliau menyampaikan keutamaan tinggal meski jauh dari masjid. (Faidh Al Qadir, 3/221)

Jika demikian maka beruntunglah mereka yang tinggal dekat dengan masjid juga tidak rugi mereka yang tinggal jauh dari masjid, karena semakin jauh semakin banyak pahala yang diperoleh.

MENGHARAP AMPUNAN

Judul : Mengharap Ampunan
12 Juli 2013 pukul 23:44
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Tiap kita punya dosa. Tak satu pun dari kita yang terluput dari kesalahan. Jika Ramadhan pun merasa aman, lalu kapan memohon ampunan? 

Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

“كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ”
“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan & sebaik-baik yang melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat.” (HR Ibnu Majah).

Tidak ada yang ma’shum selain Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau saja setiap hari memohon ampun sepenuh kesungguhan, maka apakah kepantasan kita menganggap dosa diampuni dengan sendirinya tanpa menginsyafi kesalahan dan memohon ampunan penuh kesungguhan? Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan memang akan mendapat ampunan. Tetapi, termasuk kitakah itu? Mari sejenak menilik diri (introspeksi).

Renungkanlah hadis berikutnya:

“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena keimanan & mengharap pahala (dari Allah Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim).

Hadis ini menunjukkan, siapa yang memperoleh ampunan dari Allah Ta’ala di bulan Ramadhan. Tetapi termasuk kitakah?

Hanya mereka yang berpuasa benar-benar karena iman dan mengharap pahala Allah Ta’ala saja yang akan mendapat ampunan di bulan Ramadhan ini. Pertanyaannya, sudah benar-benar berimankah kita? Atau saat mengawali Ramadhan saja kita sudah merindukan ‘Idul Fithri?

Betapa sering hati ini risau tiap mendengar khutbah ‘Idul Fithri. Tanpa introspeksi, banyak khatib yang mengajak berbangga seakan dosa kita telah terhapus semua tanpa peduli apa upaya yang kita lakukan dalam menjalani Ramadhan.

Alangkah berbedanya kita dengan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, orang yang paling dekat dengan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ujung Ramadhan mereka adalah airmata karena mengkhawatiri amal dan ‘ibadah tak diterima; mengkhawatiri kualitas ibadah dan amal shalih. Sementara banyak dari kita yang justru bergembira karena saat istimewa bernama Ramadhan segera usai. | Alangkah berbeda diri ini…

Kita memang perlu memberi kabar gembira tentang ampunan Allah Ta’ala, tapi bukan untuk melalaikan mereka bahwa seluruh dosa pasti terampuni. Andaikata puasa kita termasuk yang bernilai tinggi, maka berbenah tetap penting untuk menjaga & meningkatkan lagi. Apatah lagi jika puasa kita hanya mendapatkan lapar dan dahaga tanpa pahala bersebab tak meninggalkan perusak-perusak puasa, maka patutkah kita berbangga? 

Termangu. Jika kita merasa derajat puasa kita amat tinggi, adakah kita sudah dekati apa yang biasa dilakukan salafush-shalih saat Ramadhan? Adakah menu berbuka kita mendekati apa yang Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam contohkan? Atau mirip menu prasmanan walimah yang wah?*

Kulwit Fauzil Adhim bisa dibaca di @Kupinang

Mensyukuri Setiap Tetes Nikmat

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

BISA buang angin dengan lancar? Bersyukurlah. Hanya untuk bisa buang angin, iPad Anda tak cukup untuk bayar operasi. Bisa bernafas dengan baik? Bersyukurlah. Berapa banyak orang yang “diasap” terlebih dulu agar dapat bernafas dengan lega.

Rambut Anda tumbuh dengan baik? Bersyukurlah. Rooney harus keluar uang senilai ratusan juta rupiah hanya untuk menumbuhkan rambut yang tak seberapa. Itu pun warna rambutnya tidak seperti semula. Lalu, kita pergunakan untuk apa rambut kita ini? Kita pergunakan di jalan taqwa ataukah di jalan ingkar kepada-Nya?

Bisa tidur nyenyak? Bersyukurlah. Betapa banyak yang harus minum obat agar dapat terlelap sekejap, meski badan tak sakit. Padahal tempat tidurnya terbaik. Tetapi nyaman di badan, tak berarti menenteramkan di jiwa.

Bisa makan dengan nikmat? Bersyukurlah. Betapa banyak yang tak sanggup merasakan kenikmatan, meski yang disajikan adalah makanan paling lezat baginya. Sungguh, berbeda sekali makan lezat dan makan nikmat. Yang lezat tak selalu terasa nikmat di hati. Bahkan sekedar di lidah sekalipun.
Bisa merasakan sakit? Bersyukurlah. Sebab ia menjadi penanda bahwa ada yang bermasalah dengan tubuh. Tumpulnya perasa sakit justru berbahaya bagi diri kita. Bisa bersin dengan baik? Bersyukurlah. Betapa banyak manfaat yang didapat tatkala kita bersin dengan tuntas. Betapa bahaya jika tak bisa.
Bisa berkedip? Bersyukurlah. Berapa banyak kesulitan yang harus kita hadapi dan bahaya yang mengintai jika mata tak dapat berkedip dengan baik. Bisa mengeluarkan airmata? Bersyukurlah. Penglihatan kita akan terancam jika tiada airmata yang senantiasa membasahi.

Betapa banyak nikmat Allah Ta’ala. Satu saja yang berkurang, barangkali seluruh harta kita tak sanggup mengembalikannya. Maka, marilah sejenak kita renungi seruan yang berkali-kali Allah Ta’ala sampaikan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rahman. Bertanya Allah Ta’ala kepada kita, “فبأي آلاء ربكما تكذبان Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Belum datangkah waktunya bagi kita untuk bersyukur? Ataukah kita menunggu nikmat yang kita rasai ini berkurang agar bisa bersyukur? Atas nikmat yang Allah Ta’ala anugerahkan ini, sungguh kelak kita akan ditanya untuk apa semua itu kita pergunakan?

“ثم لتسألن يومئذ عن النعيم”

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang nikmat (yang kamu terima).”  
(QS. At-Takatsur, 102: 8).

Semoga kita dapat mensyukuri nikmat yang Allah Ta’ala berikan dan bukan orang-orang mendustakan nikmat-Nya.*

Twitter Mohammad Fauzil Adhim @Kupinang
Editor: Heri Purwono, S.Pd., M.Pd
Makassar, 01 Oktober 2014

Islam Awalnya Terasing dan Akan Kembali Asing

Orang-orang Asing yang Beruntung

Akan datang kepada manusia masa (ketika) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti memegang bara api
Orang-orang Asing yang Beruntung
ilustrasi

Terkait

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

AKAN ada zaman ketika melaksanakan tuntunan menjadi tontonan. Akan ada masa tatkala menunaikan keta’atan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dianggap sebagai keanehan. Akan ada saat manakala bersungguh-sungguh dalam memenuhi kewajiban agama dipandang sebagai perilaku berlebihan dan bahkan melampaui batas. Akan datang suatu masa saat berpegang teguh kepada dienul Islam ini dianggap ketidakwarasan. Mereka asing di mata manusia, dan manusia pun mengasingkannya. Tetapi mereka adalah sebaik-baik manusia….

Teringatlah kita kepada sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

“بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ”

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Karena itu, beruntunglah orang-orang yang ‘asing’.” (HR Muslim).

Jika telah tiba masanya, yang bersungguh-sungguh melaksanakan agama ini dianggap aneh. Amalan mereka tampak asing. Mereka melaksanakan amal shalih dan ‘ibadah berdasarkan tuntunan shahih dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, tapi manusia mengingkari. Orang-orang yang dianggap asing dan terasingkan itu sesungguhnya justru orang yang shalih di tengah-tengah kerusakan yang menimpa ummat. Tapi sebagian besar manusia mengingkari. Hanya sedikit sekali manusia yang mendengar kata-katanya dan mengikuti apa yang dinasehatkannya.

Inilah masa ketika petunjuk yang terang dari nash (Al-Qur’an & Sunnah) diabaikan. Nash diambil bukan untuk dalil, tapi untuk pembenaran. Inilah masa ketika orang banyak yang beramal berdasarkan perkataan-perkataan orang yang pandai bicara, meski nyata bertentangan dengan nash. Inilah masa ketika berpegang teguh pada sunnah justru dianggap meninggalkan sunnah. Mereka dicerca dan tersisih. Kebenaran bagai bara api.

Mari sejenak kita renungi nasehat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:

“يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ”

“Akan datang kepada manusia masa (ketika) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti memegang bara api.” (HR. Tirmidzi).

Agama ini terasing dari ummat Islam, di antaranya bersebab semakin sedikitnya orang yang memberi nasehat dan peringatan. Inilah masa ketika majelis agama tak lagi memberi ilmu, nasehat dan peringatan. Bahkan keluh lidah para penceramah dari memperingatkan.

Inilah masa ketika orang-orang yang dijadikan anutan tak lagi memiliki muru’ah (kehormatan, wibawa). ‘Izzah (harga diri, kehormatan) dakwah runtuh. Keduanya ditukar dengan tana’um (bermewah-mewah sebagai gaya hidup). Inilah masa ketika wahn (cinta dunia takut mati) dan waham merasuk kuat, seakan muru’ah hanya tegak dengan kemewahan dan penampilan. Inilah masa ketika majelis agama berubah menjadi hiburan dan senda gurau; memberi kesenangan tanpa menumbuhkan ketaqwaan.

Manusia berlomba memegah-megahkan masjid melebihi peruntukannya. Banyak yang ramai oleh manusia, tapi kosong dari hidayah. Yang seharusnya memberi nasehat dan peringatan tak memiliki ‘izzah agama dalam dirinya, sehingga sibuk menampakkan diri menarik. Ia mengikuti mustami’in (audiens) dan tak berani menyampaikan perkara-perkara yang menyelisihi selera mustami’in. Hanya ada penuturan, tanpa peringatan. Banyak menahan nasehat bersebab senantiasa anggap ummat tidak siap, tapi tak pernah mempersiapkan mereka.

Adakah ini terjadi? Semoga belum. Ataukah ini masa yang disebutkan oleh Ibnu Mas’ud? Masa ketika orang bertekun mendalami agama untuk dunia. Mereka bersemangat mendalami agama bukan untuk kepentingan agama, tetapi untuk meraup dunia. Tak selalu berupa kekayaan, tetapi ketekunannya mendalami agama bukan untuk menegakkan agama ini.

Renungkanlah perkataan mulia ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sebagai diriwayatkan oleh Al-Hakim:
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa beliau menyebutkan sejumlah fitnah yang akan terjadi di akhir zaman. Kemudian ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berkata kepadanya, “Kapankah itu terjadi, wahai ‘Ali?”

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menjawab:

إِذَا تُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّيْنِ، وَتُعُلِّمَ لِغَيْرِ الْعَمَلِ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِغَيْرِ الآخِرَةِ.

“Fitnah-fitnah tersebut terjadi jika fiqih dikaji sungguh-sungguh bukan karena agama, ilmu agama dipelajari bukan untuk diamalkan, serta kehidupan dunia dicari bukan untuk kepentingan akhirat.” (Riwayat Al-Hakim).

Perhatikanlah sejenak penjelasan menantu kesayangan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini. Betapa berbedanya. Di masa shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, mereka mencari kehidupan dunia untuk akhirat. Sementara di zaman fitnah, kehidupan dunia dicari bukan kepentingan akhirat. Bahkan sebagaimana diperingatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, pada masa fitnah agama tersebut, manusia justru mengejar dunia dengan amal akhirat. Maka, kelak kita akan saksikan orang bersungguh-sungguh melaksanakan shalat Dhuha maupun sedekah karena ingin mengejar dunia. Seakan Allah Ta’ala tak akan melimpahkan harta kepada kita jika meminta sebelum melakukan keduanya.

Hari ini, ada di antara sebagian manusia yang tak putus mengerjakan shalat Dhuha, tapi shalat fardhunya diletakkan di belakang.

Maafkan saya. Yang bertutur ini masih jauh dari agama. Semoga ada yang dapat kita renungi. Semoga kita belajar memuliakan agama ini.*
twitter Mohammad Fauzil Adhim @Kupinang

Makassar, 1 Oktober 2014
Editor: Heri Purwono, S.Pd., M.Pd

Senin, 29 September 2014

Mengapa Waktu Puasa/Lebaran Bisa Berbeda

Mengapa Pemerintah dan Muhammadiyah sering berbeda dalam menentukan Awal dan Akhir Ramadhan?
Tak dapat dipungkiri, perdebatan dan perbedaan mengenai penetapan awal puasa ramadhan maupun awal Idul Fitri hampir setiap tahun terjadi. Hampir setiap tahun kaum muslimin disibukkan dengan masalah “kapan memulai puasa dan kapan berhari raya?”. Para pemimpin dan pengurus ormas-ormas Islam seperti NU, Persis, dan Muhammadiyah serta organisai lain disibukkan berijtihad untuk memastikan kapan puasa tahun itu dimulai dan berakhir, sementara masyarakat dibingungkan dengan berbagai keputusan yang dibuat lembaga-lembaga Islam yang terkadang keputusannya berbeda-beda. Bahkan akhir-akhir ini masyarakat sering dikacaukan oleh seruan untuk memulai puasa atau berhari raya dengan berpedoman pada awal puasa dan idul fitri di Saudi Arabia.
Tidak jarang karena perbedaan-perbedaan tersebut, timbul gesekan-gesekan di masyarakat. Masing-masing individu menganggap benar apa yang diputuskan oleh ormas yang diikutinya dan menganggap salah terhadap yang lain, tanpa mereka tahu apa sebetulnya yang dijadikan ukuran sebagai penentuan awal dan akhir puasa oleh masing-masing ormas dan lembaga-lembaga Islam tersebut.
Tak sedikit pula rakyat atau masyarakat yang kurang paham dengan hal tersebut menjadi "bermusuhan" hanya gara-gara hal tersebut. Mudah-mudahan Anda yang sudah membaca artikel berikut ini bisa memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut.
Hal yang perlu diketahui dalam kalender hijriah dan perbedaanya dengan Masehi.
Jumlah hari dalam Kalender Hijriah adalah 29 atau 30 hari, sedangkan masehi adalah 30 atau 31 hari, kecuali Februari 28 hari (29 hari jika tahun kabisat yang terjadi tiap 4 tahun sekali)
Aturan penanggalan Hijriyah adalah berdasarkan edar bulan sedangkan Masehi adalah matahari
Jumlah satu tahun adalah 12 bulan.
Beberapa cara penentuan awal bulan (hijriyah) baru.
A. Rukyat/ Metode Hilal
Metode Rukyat adalah dengan melihat Hilal atau suatu cara untuk menetapkan awal bulan, rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya dapat dilihat sesaat setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Bila cuaca mendung/buruk, sehingga bulan tidak dapat dilihat, maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Teknik ini sudah dipakai sejak Zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, hanya saja tidak memakai alat bantu seperti teleskop, karena memang saat itu belum ada. tinggi hilal di atas ufuk adalah minimal dua derajat, baru bisa dikatakan awal bulan baru. Oleh karena itu, apabila posisi hilal kurang dari dua derajat tidak imkan dirukyat dan tidak bisa ditetapkan sebagai awal Ramadhan dan awal Syawal, sehingga awal ramadhan dan awal Syawal ditetapkan pada hari berikutnya
B. Metode Hisab
Penetapan dengan hisab melalui pendekatan wujudul hilal.
Artinya awal Ramadhan dan awal Syawal ditetapkan berdasarkan perhitungan hisab asalkan posisi hilal berada di atas ufuk berapa pun derajat tingginya, walaupun kurang dari 0,5 derajat, dan walaupun hilal tidak dapat dilihat dengan mata kepala, karena yang penting hilal sudah wujud. Jadi rukyatul hilal bil fi’li tidak perlu dilakukan dalam penetapan awal atau akhir bulan.
Hisab bisa juga dikatakan adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Ramadhan, dengan menggunakan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Dalil-dalil yang digunakan oleh Ahli Hisab dan Rukyah
a. Dalil Ahli Hisab
èDia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Surah Yunus ayat 5
b. Dalil Yang Digunakan Oleh Ahli Rukyat
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيتة فإن غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
Rasulullah Saw bersabda “Berpuasalah dengan melihat hilal dan berbuka (berhariraya)lah dengan melihatnya pula. Jika (hilal)terhalang (awan) hingga kalian tidak dapat melihatnya, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. al-Bukhari)
عن بن عمر رضي الله عنهما أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فضرب بيده فقال الشهر هكذا وهكذا ثم عقد إبهامه في الثالثة فصوموا لرؤيته وافطروا لرؤيتة فإن أُغْمي عليكم فاقدروا له ثلاثين (رواه مسلم)
Dari Ibn Umar ra, sesungguhnya Rasulallah Saw menceritakan Ramadhan, kemudian memukulkan tangannya, kemudian bersabda “Sebulan itu adalah sekian dan sekian, kemudian beliau melengkungkan ibu jarinya pada perkataan yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah (mengakhiri puasa) kamu karena melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan, maka pastikanlah bilangan hari pada bulan itu lamanya menjadi 30 hari” (HR. Muslim).
Mengapa Muhammadiyah dan NU sering berbeda dalam menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal?
Menurut saya ada beberapa alasan;
1. Ormas Muhammadiyah dalam menentukan awal bulan baru menggunkan metode hisab. Metode hisab biasanya sudah bisa diramalkan jauh-jauh hari. Berbeda dengan NU / pemerintah, menggunakan metode rukyat, yang artinya hilal bulan baru jika berada di atas 2 derajad di atas ufuk. dan baru tidak bisa diramalkan jauh hari sebelumnya alias mesti dilihat atau dipraktekkan pada hari yang dianggap hilal akan muncul.
2. Muhammadiyah menggunakan metode hisab tidak lain tujuannya adalah agar kita selaku umat Islam tidak perlu direpotkan lagi dengan melihat hilal. Toh ilmu astronomi sekarang sudah sangat canggih, sehingga pergerakan benda angkasa ataupun misalnya gerhana bulan dan matahari sudah bisa diramalkan waktu dan tempatnya dengan tepat. Selain itu, mereka beranggapan seandainya seluruh dunia misalnya gelap ataupun tertutup awan, mustahil hilal dapat dilihat, terlebih daerah-daerah yang sarana komunikasinya belum terjangkau dengan baik.
3. Pemerintah, selama puluhan tahun berpegang pada metode rukyat. Bagaimanapun pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keagamaan tentu memiliki alasan-alasan tertentu dalam memakai metode ini. Toh alat sudah semakin canggih( misalnya teleskop atau teropong), rasanya tidak repot-repot amat untuk melihat bulan baru. Media komunikasi massal dan global sudah banyak dimiliki masyarakat, seperti Handphone dan Televisi, sehingga berita dapat disosialisakan dengan cepat.
Bagaimana? Yaah, mudahan kita bisa memahami perbedaan tersebut. Tak perlu ada perdebatan yang sengit jika kita selaku umat Islam paham mengenai hal ini. Tak perlu lagi kita gontok-gontokkan. Silakan ikuti yang mana, pemerintah atau Ormas Muhammadiyah, NU, PERSIS terserah.... Intinya kita harus selalu berpegang pada satua saja, jangan gonta-ganti cari enaknya aja. heheee dan jangan sampai pula kita mengikuti arahan Ormas tertentu karena berniat ingin mengurangi jumlah hari puasa Ramadhan yaa? xixixi.
Mohon jika ada kekurangan dan kekeliruan bisa dikoreksi dan ditambahkan

Minggu, 28 September 2014

Ikhlas Itu Mudah atau Sulit?

Ikhlas Itu Mudah atau Sulit?

Ditulis Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


Inilah Sufyan bin Sa'id Ats-Tsauri, seorang ulama hadis yang sangat berpengaruh. Keutamaannya dalam ilmu hadis membuat Yahya bin Ma'in dan beberapa ulama lainnya memberi julukan "Amirul Mukminin fil Hadits". Hanya dua orang yang pernah mendapat julukan tersebut, satu lagi adalah Malik bin Anas, meskipun keduanya bukanlah orang yang menyukai gelaran-gelaran hebat yang disematkan kepadanya. Ini merupakan gelaran yang dikatakan orang atas dirinya, bukan dianugerahkan kepadanya lalu diterima dengan hati bangga.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah Ta'ala pernah mengingatkan kita, ”Tidaklah aku obati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.”

Apa maknanya? Tidak ada yang lebih berat dalam beramal melebihi urusan menata niat. Sesungguhnya sebaik-baik niat adalah yang ikhlas, yakni memaksudkan amal dan ibadah semata-mata hanya untuk meraih ridha Allah subhanahu wa ta'ala. Satu hal yang perlu kita garis bawahi di sini adalah, ikhlas itu berkait dengan sesuatu yang kita lakukan, kita perbuat, bukan sesuatu yang menimpa kepada kita. Adapun perbuatan atau tindakan tersebut kita kerjakan hanya untuk meraih ridha Allah 'Azza wa Jalla. Maka jika ada hal tak menyenangkan yang menimpa kita, urusannya bukanlah soal ikhlas. Bukan. Sama sekali tak berkait dengan keikhlasan.

Nasehat Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah ini mengingatkan kita pada perkataan seorang ulama besar yang masyhur, yakni Yahya bin Katsir. Beliau berkata, ”Belajarlah niat karena niat lebih penting daripada amal.”

Mengapa niat lebih penting daripada amal? Sebabnya, niatlah yang menentukan nilai amal. Niat yang baik menjadikan amalan yang tampak kecil dan ringan bernilai sangat berat dan mulia di sisi Allah subhanahu wa ta'ala. Niat buruk tak menjadikan seseorang memperoleh dosa karena belum dicatat sebagai keburukan, sementara niat baik sudah mendapat pahala dan bertambahlah apabila niat baik tersebut diwujudkan dalam perbuatan. Tetapi niat yang sungguh-sungguh ingin kita wujudkan atau disebut shiddiqun niyah (niat yang jujur) akan mengantarkan kepada dosa jika itu keburukan, meski tak sampai melakukan, atau pada pahala. Keduanya --dosa maupun pahala-- sebesar orang yang melakukannnya. Na'udzubillahi min dzaalik.

Berkenaan dengan kedudukan ikhlas, mari kita perhatikan nasehat Yusuf bin Al Husain Ar-Razi rahimahullah, ”Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas. Betapa sering aku berusaha mengenyahkan riya’ dari dalam hatiku, namun sepertinya ia kembali muncul dengan warna yang lain.”

Perkataan Yusuf Ar-Razi rahimahullah ini sekali menunjukkan betapa sulitnya meraih ikhlas dan menjaganya agar tetap bersih. Maka, mendidik niat dan berusaha membenahinya merupakan hal yang sangat penting. Begitu kita meremehkan, maka kita akan tergelincir kepada buruknya niat; merasa tak bermasalah, padahal amat perlu ditangisi. Bukankah yang menyebabkan seorang mujahid yang mati saat berjihad justru terjerumus ke dalam api neraka adalah bersebab salah niat? Bukankah yang menyebabkan ahli sedekah masuk neraka juga karena rusaknya niat?

Terkait hal ini, silakan baca kembali tulisan terdahulu bertajuk Salah Sedekah Masuk Neraka.

Maka, alangkah mengherankan ketika ada sebagian penceramah yang memudah-mudahkan soal ikhlas. Seseorang di antaranya berkata, "Ikhlas itu sulit atau mudah?"

Para mustami'in (audiens) hening sejenak. Kemudian ustadz tersebut berkata, "Mudah atau sulit, tergantung persepsi kita."

Dheggg... Mendengarkan perkataan yang menempatkan persepsi sebagai penentu paling penting, segera mengingatkan saya pada keyakinan dasar di salah satu cabang New Age Movement (NAM) yang berupa pelatihan. Tetapi saya bersangka-baik kepada Ustadz tersebut. Saya kesampingkan dulu risau saya ini. Kalaulah beliau ini terpengaruhi oleh salah satu keyakinan NAM, semoga itu semata karena ketidaktahuannya. Meski demikian, andai kita menempatkan keyakinan bahwa sebaik-baik perkataan adalah kalamuLLah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam, sepatutnya hal itu tidak terjadi.

"Kalau kita menganggap mudah, ikhlas itu jadi mudah. Tapi kalau kita menganggap sulit, kita akan sulit ikhlas," katanya melanjutkan, "Betul tidak?"

"Coba saya mau tanya, kalau suatu hari ibu-ibu dihadang perampok di tengah jalan dan mereka mengancam akan membunuh jika tidak mau menyerahkan uang di dompet ibu, kira-kira milih ikhlas atau tidak?" kata Ustadz ini meneruskan penjelasannya.

Saya tersentak, meski memilih untuk tetap diam. Ini bukanlah yang pertama orang mengambil contoh tentang ikhlas, tetapi sebenarnya tidak berhubungan dengan masalah keikhlasan sama sekali. Mari kita ingat sejenak bahwa ikhlas itu adalah melakukan sesuatu semata hanya untuk memperoleh ridha Allah Ta'ala. Adapun jika kita ditimpa suatu keadaan atau kejadian, maka urusannya berkait dengan ridha (rela, senang hati, menerima dengan lapang). Kita ridha atau tidak dengan tindakan tersebut.

Kasus perampokan yang diilustrasikan tersebut misalnya, bisa saja seseorang memilih tidak melawan, tapi itu bukan karena ridha hartanya dirampok. Ia membiarkan uangnya dirampas semata untuk menghindari kejahatan lebih besar. Dalam hal ini, jangankan ikhlas, ridha pun tidak. Ia tidak merelakan hartanya dirampok, meskipun memilih tidak melawan. Justru salah kalau ia ridha terhadap kejahatan. Ia memang harus (setidaknya belajar untuk) ridha terhadap takdir yang menimpanya, tapi bukan meridhai perampokan.

Alhasil, meski yang dibahas oleh ustadz tersebut berkaitan dengan ikhlas, tetapi sebenarnya tidak berkaitan dengan ikhlas sama sekali. Sejauh ini, saya belum pernah mendapatkan contoh pembahasan yang benar-benar relevan dari para pembicara terkini yang memudah-mudahkan ikhlas. Umumnya ketika meyakinkan bahwa ikhlas itu sangat mudah, yang dicontohkan adalah berkait dengan ridha. Itu pun tidak menyentuh substansi ridha. Sebagaimana ilustrasi pilihan sikap saat menghadapi perampokan, bisa saja seseorang memutuskan tidak melawan, tapi sama sekali rela dan senang hati menyerahkan hartanya secara paksa.

Semoga catatan ini bermanfaat. Semoga kita dapat senantiasa bercermin kepada para salafush-shalih dan mengambil pelajaran dari perkataan mereka. Sesungguhnya mereka lebih dekat dengan mata air agama ini, yakni Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang padanya Al-Qur'an diturunkan dan darinya kita mengambil sunnah.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Selasa, 23 September 2014

Biografi 9 (Sembilan) Imam Hadits



1.      IMAM AL-BUKHARI, MUHAMMAD BIN ISMA’IL

A.        Pertumbuhan beliau
·           Nama: Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah.
·           Kuniyah beliau: Abu Abdullah
·           Nasab beliau:
1)         Al Ju'fi; nisabah Al Ju'fi adalah nisbah arabiyyah. Faktor penyebabnya adalah, bahwasanya al Mughirah kakek Bukhari yang kedua masuk Islam berkat bimbingan dari Al Yaman Al Ju'fi. Maka nisbah beliau kepada Al Ju'fi adalah nisbah perwalian
2)         Al Bukhari; yang merupakan nisbah kepada negri Imam Bukhari lahir
·           Tanggal lahir: Beliau dilahirkan pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at 13 Syawwal 194 H
·           Tempat lahir: Bukhara
·           Masa kecil beliau:
Bukhari dididik dalam keluarga yang berilmu. Bapaknya adalah seorang ahli hadits, akan tetapi dia tidak termasuk ulama yang banyak meriwayatkan hadits, Bukhari menyebutkan di dalam kitab tarikh kabirnya, bahwa bapaknya telah melihat Hammad bin Zaid dan Abdullah bin Al Mubarak, dan dia telah mendengar dari imam Malik, karena itulah dia termasuk ulama bermadzhab Maliki. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil, sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu dalam kondisi yatim. Akan tetapi ayahnya meninggalkan Bukhari dalam keadaan yang berkecukupan dari harta yang halal dan berkah. Bapak Imam Bukhari berkata ketika menjelang kematiannya; "Aku tidak mengetahui satu dirham pun dari hartaku dari barang yang haram, dan begitu juga satu dirhampun hartaku bukan dari hal yang syubhat."
Maka dengan harta tersebut Bukhari menjadikannya sebagai media untuk sibuk dalam hal menuntut ilmu.
Ketika menginjak usia 16 tahun, dia bersama ibu dan kakaknya mengunjungi kota suci, kemudian dia tinggal di Makkah dekat dengan baitulah beberapa saat guna menuntut ilmu.
Kisah hilangnya penglihatan beliau: Ketika masa kecilnya, kedua mata Bukhari buta. Suatu ketika ibunya bermimpi melihat Khalilullah Nabi Ibrahim 'Alaihi wa sallam berujar kepadanya; "Wahai ibu, sesungguhnya Allah telah memulihkan penglihatan putramu karena banyaknya doa yang kamu panjatkan kepada-Nya." Menjelang pagi harinya ibu imam Bukhari mendapati penglihatan anaknya telah sembuh. Dan ini merupakan kemuliaan Allah subhanahu wa ta'ala yang di berikan kepada imam Bukhari di kala kecilnya.

B.         Perjalan beliau dalam menuntut ilmu
·           Kecerdasan dan kejeniusan beliau
Kecerdasan dan kejeniusan Bukhari nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, sedikit sekali orang yang memiliki kelebihan seperti dirinya pada zamannya tersebut. Ada satu riwayat yang menuturkan tentang dirinya, bahwasanya dia menuturkan; "Aku mendapatkan ilham untuk menghafal hadits ketika aku masih berada di sekolah baca tulis." Maka Muhammad bin Abi Hatim bertanya kepadanya; "saat itu umurmu berapa?". Dia menjawab; "Sepuluh tahun atau kurang dari itu. Kemudian setelah lulus dari sekolah akupun bolak-balik menghadiri majelis hadits Ad-Dakhili dan ulama hadits yang lainnya. Ketika sedang membacakan hadits di hadapan murid-muridnya, Ad-Dakhili berkata; 'Sufyan meriwayatkan dari Abu Zubair dari Ibrahim.' Maka aku menyelanya; 'Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan dari Ibrahim.' Tapi dia menghardikku, lalu aku berkata kepadanya, 'kembalikanlah kepada sumber aslinya, jika anda punya.' Kemudian dia pun masuk dan melihat kitabnya lantas kembali dan berkata, 'Bagaimana kamu bisa tahu wahai anak muda?' Aku menjawab, 'Dia adalah Az Zubair. Nama aslinya Ibnu 'Adi yang meriwayatkan hadits dari Ibrahim.' Kemudian dia pun mengambil pena dan membenarkan catatannya. Dan dia pun berkata kepadaku, 'Kamu benar.' Maka Muhammad bin Abi Hatim bertanya kepada Bukhari; "Ketika kamu membantahnya berapa umurmu?". Bukhari menjawab, "Sebelas tahun."
Hasyid bin Isma'il menuturkan: bahwasanya Bukhari selalu ikut bersama kami mondar-mandir menghadiri para masayikh Bashrah, dan saat itu dia masih anak kecil. Tetapi dia tidak pernah menulis (pelajaran yang dia simak), sehingga hal itu berlalu beberapa hari. Setelah berlalu 6 hari, kamipun mencelanya. Maka dia menjawab semua celaan kami; "Kalian telah banyak mencela saya, maka tunjukkanlah kepadaku hadits-hadits yang telah kalian tulis." Maka kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadits kami. Tetapi dia menambahkan hadits yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadits. Dan dia membaca semua hadits-hadits tersebut dengan hafalannya di luar kepala. Maka akhirnya kami mengklarifikasi catatan-catatan kami dengan berpedoman kepada hafalannya.
C.         Guru-guru beliau
Imam Bukhari berjumpa dengan sekelompk kalangan atba'ut tabi'in muda, dan beliau meriwayatkan hadits dari mereka, sebagaimana beliau juga meriwayatkan dengan jumlah yang sangat besar dari kalangan selain mereka. Dalam masalah ini beliau bertutur; ' aku telah menulis dari sekitar seribu delapan puluh jiwa yang semuanya dari kalangan ahlul hadits.
Guru-guru imam Bukhari terkemuka yang telah beliau riwayatkan haditsnya;
1.         Abu 'Ashim An Nabil
2.         Makki bin Ibrahim
3.         Muhammad bin 'Isa bin Ath Thabba'
4.         Ubaidullah bin Musa
5.         Muhammad bin Salam Al Baikandi
6.         Ahmad bin Hambal
7.         Ishaq bin Manshur
8.         Khallad bin Yahya bin Shafwan
9.         Ayyub bin Sulaiman bin Bilal
10.      Ahmad bin Isykab

D.        Hasil karya beliau
Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
1.         Al Jami' as Sahih (Sahih Bukhari)
2.         Al Adab al Mufrad.
3.         At Tarikh ash Shaghir.
4.         At Tarikh al Awsath.
5.         At Tarikh al Kabir.
6.         At Tafsir al Kabir.
7.         Al Musnad al Kabir.
8.         Kitab al 'Ilal.
9.         Raf'ul Yadain fi ash Shalah.
10.      Birru al Walidain.
11.      Kitab al Asyribah.
12.      Al Qira`ah Khalfa al Imam.
13.      Kitab ad Dlu'afa.
14.      Usami ash Shahabah.
15.      Kitab al Kuna.
16.      Al Hbbah
17.      Al Wihdan
18.      Al Fawa`id
19.      Qadlaya ash Shahabah wa at Tabi'in
20.      Masyiikhah

E.         Wafat beliau
Imam Bukhari keluar menuju Samarkand, Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya beliau meninggal pada hari sabtu tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Semoga Allah selalu merahmatinya dan ridla kepadanya.


2.      IMAM MUSLIM BIN AL-HAJJAJ AN-NAISABURI         
      
A.        Pertumbuhan beliau
·           Nama: Muslim bin al Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi
·           Kuniyah beliau: Abdul Husain
·           Nasab beliau:
1.         Al Qusyairi; merupakan nisbah kepada Qabilah afiliasi beliau, ada yang mengatakan bahwa Al Qusyairi merupakan orang arab asli, dan ada juga yang berpendapat bahwa nisbah kepada Qusyair merupakan nisbah perwalian saja
2.         An Naisaburi; merupakan nisbah yang di tujukan kepada negri tempat beliau tinggal, yaitu Naisabur. Satu kota besar yang terletak di daerah Khurasan
·           Tanggal lahir: para ulama tidak bisa memastikan tahun kelahiran beliau, sehingga sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa tahun kelahirannya adalah tahun 204 Hijriah, dan ada juga yang berpendapat bahwa kelahiran beliau pada tahun 206 Hijriah.
·           Ciri-ciri beliau: beliau mempunyai perawakan yang tegap, berambut dan berjenggot putih, menjuntaikan ujung ‘imamahnya diantara dua punggungnya.

B.         Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Sesungguhnya lingkungan tempat tumbuh imam Muslim memberikan peluang yang sangat luas untuk menuntut ilmu yang bermanfa’at, karena Naisabur merupakan negri hidup yang penuh dengan peninggalan ilmu dari pemilik syari’at. Semua itu terjadi karena banyaknya orang-orang yang sibuk untuk memperoleh ilmu dan mentransfer ilmu, maka besar kemungkinan bagi orang yang terlahir di lingkungan masyarakat seperti ini akan tumbuh dengan ilmu juga. Adanya kesempatan yang terpampang luas di hadapan Imam Muslim kecil untuk memetik dari buah-buah ilmu syariat tidak di sia-siakannya.
Maka dia mendengar hadits di negrinya tinggal pada tahun 218 Hijriah dari gurunya Yahya bin Yahya At Tamimi, pada saat itu umurnya menginjak empat belas tahun.
Dan bisa juga orang tuanya serta keluarganya mempunyai andil dalam memotifasinya untuk menuntut ilmu. Para ulama telah menceritakan bahwa orang tuanya, Al Hajaj adalah dari kalangan masyayikh, yaitu termasuk dari kalangan orang yang memperhatikan ilmu dan berusaha untuk memperolehnya.
Muslim mempunyai kesempatan untuk mengadakan perjalanan hajinya pada tahun 220 Hijriah. Pada saat keluar itu dia mendengar hadits dari beberapa ahli hadits, kemudian dia segera kembali ke negrinya Naisabur.
C.         Guru-guru beliau
Perjalanan ilmiah yang dilakukan imam Muslim menyebabkan dirinya mempunyai banyak guru dari kalangan ahlul hadits. Al Hafizh Adz Dzahabi telah menghitung jumlah guru yang diambil riwayatnya oleh imam Muslim dan dicantumkan di dalam kitab shahihnya, dan jumlah mereka mencapai 220 orang, dan masih ada lagi selain mereka yang tidak di cantumkan di dalam kitab shahihnya
Diantara guru-guru beliau yang paling mencolok adalah;
1.         Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi, guru beliau yang paling tua
2.         Al Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari
3.         Al Imam Ahmad bin Hambal
4.         Al Imam Ishaq bin Rahuyah al Faqih al Mujtahid Al Hafizh
5.         Yahya bin Ma’in, imam jarhu wa ta’dil
6.         Ishaq bin Manshur al Kausaj
7.         Abu Bakar bin Abi Syaibah, penulis buku al Mushannaf
8.         Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi
9.         Abu Kuraib Muhammad bin Al ‘Alaa`
10.      Muhammad bin Abdullah bin Numair
11.      Abd bin Hamid

D.        Hasil karya beliau
Imam Muslim mempunyai hasil karya dalam bidang ilmu hadits yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya ada yang sampai kepada kita dan sebagian lagi ada yang tidak sampai.
Adapun hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah;
1.         Al Jami’ ash Shahih
2.         Al Kuna wa Al Asma’
3.         Al Munfaridaat wa al wildan
4.         Ath Thabaqaat
5.         Rijalu ‘Urwah bin Az Zubair
6.         At Tamyiz

E.         Wafatnya beliau
Imam Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H bertepatan dengan 5 Mei 875. dalam usia beliau 55 tahun.


3.      IMAM ABU DAWUD, SULAIMAN BIN AL-ASY’ATS

             A.    Pertumbuhan beliau
·            Nama:
1.         Menurut Abdurrahman bin Abi Hatim, bahwa nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al Asy'ats bin Syadad bin 'Amru bin 'Amir.
2.         Menurut Muhammad bin Abdul 'Aziz Al Hasyimi; Sulaiman bin al Asy'ats bin Basyar bin Syadad.
3.         Ibnu Dasah dan Abu 'Ubaid Al Ajuri berkata; Sulaiman bin al Asy'ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad. Pendapat ini di perkuat oleh Abu Bakr Al Khathib di dalam Tarikhnya. Dan dia dalam bukunya menambahi dengan; Ibnu 'Amru bin 'Imran al Imam, Syaikh as Sunnah, Muqaddimu al huffazh, Abu Daud al-azadi as-Sajastani, muhaddits Bashrah.
·            Nasab beliau:
1.         Al Azadi, yaitu nisbat kepada Azd yaitu qabilah terkenal yang ada di daerah Yaman.
2.         Sedangkan as-Sijistani, ada beberapa pendapat dalam nisbah ini, diantaranya:
Ada yang berpendapat bahwasan as Sijistani merupakan nisbah kepada daerah Sijistan, yaitu daerah terkenal. Ada juga yang berpendapat bahwa as sijistani merupakan nisbah kepada sijistan atau sijistanah yaitu suatu kampung yang ada di Bashrah. Tetapi menurut Muhammad bin Abi An Nashr bahwasannya di Bashrah tidak ada perkampung yang bernama as-Sijistan. Namun pendapat ini di bantah bahwa di dekat daerah Ahwaz ada daerah yang disebut dengan Sijistan
As Sam'ani mengutip satu pendapat bahwa as-sijistan merupakan nisbah kepada sijistan, yaitu salah suatu daerah terkenal yang terletak di kawasan Kabul
Abdul Aziz menyebutkan bahwasannya sijistan merupakan nisbah kepada Sistan, yaitu daerah terkenal yang sekarang ada di Negri Afganistan.
·            Tanggal lahir:
Tidak ada ulama yang menyebutkan tanggal dan bulan kelahiran beliau, kebanyakan refrensi menyebutkan tahun kelahirannya. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H. disandarkan kepada keterangan dari murid beliau, Abu Ubaid Al Ajuri ketika beliau wafat, dia berkata:  aku mendengar Abu Daud berkata : “Aku dilahirkan  pada tahun  202 Hijriah"
          B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Ketika menelisik biografi imam Abu Daud, akan muncul paradigma bahwasanya beliau semenjak kecil memiliki keahlian untuk menimba ilmu yang bermanfaat. Semua itu ditunjang dengan adanya keutamaan yang telah di anugerahkan Allah kepadanya berupa kecerdasan, kepandaian dan kejeniusan, disamping itu juga adanya masyarakat sekelilingnya yang mempunyai andil besar dalam menimba ilmu.
Dia semenjak kecil memfokuskan diri untuk belajar ilmu hadits, maka kesempatan itu dia gunakan untuk mendengarkan hadits di negrinya Sijistan dan sekitarnya. Kemudian dia memulai rihlah ilmiahnya ketika menginjak umur delapan belas tahun. Dia merupakan sosok ulama yang sering berkeliling mencari hadits ke berbagai belahan negri Islam, banyak mendengar hadits dari berbagai ulama, maka tak heran jika dia dapat menulis dan menghafal hadits dengan jumlah besar yaitu setengah juta atau bahkan lebih dari itu. Hal  ini merupakan modal besar bagi berbagai karya tulis beliau yang tersebar setelah itu keberbagai pelosok negri islam, dan menjadi sandaran dalam perkembangan keilmuan baik hadits maupun disiplin ilmu lainnya.

          C.      Guru-guru beliau
Diantara guru beliau yang terdapat di dalam sunannya adalah;
1.          Ahmad bin Muhammmad bin Hanbal as Syaibani al Bagdadi
2.          Yahya bin Ma'in Abu Zakariya
3.          Ishaq binIbrahin bin Rahuyah abu ya'qub al Hanzhali
4.          Utsman bin Muhammad bin abi Syaibah abu al Hasan al Abasi al Kufi.
5.          Muslim bin Ibrahim al Azdi
6.          Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab al Qa'nabi al Harits al Madani
7.          Musaddad bin Musarhad bin Musarbal
8.          Musa bin Ismail at Tamimi.
9.          Muhammad bin Basar.
10.      Zuhair bin Harbi (Abu Khaitsamah)
11.      Umar bin Khaththab as Sijistani.
12.      Ali bin Al Madini
13.      Ash Shalih abu sarri (Hannad bin sarri).
14.      Qutaibah bin Sa'id bin Jamil al Baghlani
15.      Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli

        D.     Hasil karya beliau
Adapun hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah;
1.          As Sunan
2.          Al marasil
3.          Al Masa'il
4.          Ijabaatuhu 'an su'alaati Abi 'Ubaid al Ajuri
5.          Risalatuhu ila ahli Makkah
6.          Tasmiyyatu al Ikhwah alladziina rowaa 'anhum al hadits
7.          Kitab az zuhd

         E.       Wafatnya beliau
Abu 'Ubaid al Ajuri menuturkan; 'Imam abu daud meninggal pada hari jum'at tanggal 16 bulan syawwal tahun 275 hijriah, berumur 73 tahun. Beliau meninggal di Busrah. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmatNya dan meridlai beliau.


4.      IMAM AT-TIRMIDZI, MUHAMMAD BIN ‘ISA           
 
A.   Pertumbuhan beliau
·       Nama: Muhammad bin 'Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak
·       Kunyah beliau: Abu 'Isa
·       Nasab beliau:
1.          As Sulami; yaitu nisbah kepada satu kabilah yang yang di jadikan sebagai afiliasi beliau, dan nisbah ini merupakan nisbah kearaban
2.          At Tirmidzi; nisbah kepada negri tempat beliau di lahirkan (Tirmidz), yaitu satu kota yang terletak di arah selatan dari sungai Jaihun, bagian selatan Iran.
·       Tanggal lahir: para pakar sejarah tidak menyebutkan tahun kelahiran beliau secara pasti, akan tetapi sebagian yang lain memperkirakan bahwa kelahiran beliau pada tahun 209 hijriah. Sedang Adz Dzahabi berpendapat dalam kisaran tahun 210 hijriah.
Ada satu berita yang mengatakan bahwa imam At Tirmidzi di lahirkan dalam keadaan buta, padahal berita yang akurat adalah, bahwa beliau mengalami kebutaan di masa tua, setelah mengadakan lawatan ilmiah dan penulisan beliau terhadap ilmu yang beliau miliki.
Beliau tumbuh di daerah Tirmidz, mendengar ilmu di daerah ini sebelum memulai rihlah ilmiah beliau. Dan beliau pernah menceritakan bahwa kakeknya adalah orang marwa, kemudian berpindah dari Marwa menuju ke tirmidz, dengan ini menunjukkan bahwa beliau lahir di Tirmidzi.
B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Berbagai literatur-literatur yang ada tidak menyebutkan dengan pasti kapan imam Tirmidzi memulai mencari ilmu, akan tetapi yang tersirat ketika kita memperhatikan biografi beliau, bahwa beliau memulai aktifitas mencari ilmunya setelah menginjak usia dua puluh tahun. Maka dengan demikian, beliau kehilangan kesempatan untuk mendengar hadits dari sejumlah tokoh-tokoh ulama hadits yang kenamaan, meski tahun periode beliau memungkinkan untuk mendengar hadits dari mereka, tetapi beliau mendengar hadits mereka melalui perantara orang lain. Yang nampak adalah bahwa beliau memulai rihlah pada tahun 234 hijriah.
Beliau memiliki kelebihan; hafalan yang begitu kuat dan otak encer yang cepat menangkap pelajaran. Sebagai permisalan yang dapat menggambarkan kecerdasan dan kekuatan hafalan beliau adalah, satu kisah perjalan beliau meuju Makkah, yaitu;
Pada saat aku dalam perjalanan menuju Makkah, ketika itu aku telah menulis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh. Kebetulan Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Maka aku bertanya kepadanya, dan saat itu aku mengira bahwa "dua jilid kitab" yang aku tulis itu bersamaku. Tetapi yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang masih putih bersih belum ada tulisannya. aku memohon kepadanya untuk menperdengarkan hadits kepadaku, dan ia mengabulkan permohonanku itu. Kemudian ia membacakan hadits dari lafazhnya kepadaku. Di sela-sela pembacaan itu ia melihat kepadaku dan melihat bahwa kertas yang kupegang putih bersih. Maka dia menegurku: 'Tidakkah engkau malu kepadaku?' maka aku pun memberitahuka kepadanya perkaraku, dan aku berkata; “aku telah mengahafal semuanya." Maka syaikh tersebut berkata; 'bacalah!'. Maka aku pun membacakan kepadanya seluruhnya, tetapi dia tidak mempercayaiku, maka dia bertanya: 'Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?' 'Tidak,' jawabku. Kemudian aku meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits, lalu berkata: 'Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,' Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai tanpa salah satu huruf pun."
C.      Guru-guru beliau
Imam at Tirmidzi menuntut ilmu dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antara mereka adalah
1.          Qutaibah bin Sa'id
2.          Ishaq bin Rahuyah
3.          Muhammad bin 'Amru As Sawwaq al Balkhi
4.          Mahmud bin Ghailan
5.          Isma'il bin Musa al Fazari
6.          Ahmad bin Mani'
7.          Abu Mush'ab Az Zuhri
8.          Basyr bin Mu'adz al Aqadi
9.          Al Hasan bin Ahmad bin Abi Syu'aib
10.      Abi 'Ammar Al Husain bin Harits

D.     Hasil karya beliau
Imam Tirmizi menitipkan ilmunya di dalam hasil karya beliau, diantara buku-buku beliau ada yang sampai kepada kita dan ada juga yang tidak sampai. Di antara hasil karya beliau yang sampai kepada kita adalah:
1.          Kitab Al Jami', terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi.
2.          Kitab Al 'Ilal
3.          Kitab Asy Syama'il an Nabawiyyah.
4.          Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Adapun karangan beliau yang tidak sampai kepada kita adalah;
1.          Kitab At-Tarikh.
2.          Kitab Az Zuhd.
3.          Kitab Al Asma` wa al kuna.

E.       Wafatnya beliau:
Di akhir kehidupannya, imam at Tirmidzi mengalami kebutaan, beberapa tahun beliau hidup sebagai tuna netra, setelah itu imam atTirmidzi meninggal dunia. Beliau wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892, dalam usia beliau pada saat itu 70 tahun.


5.      IMAM AN-NASA`I , AHMAD BIN SYU’AIB

            A.      Pertumbuhan beliau
·            Nama: Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr
·            Kuniyah beliau: Abu Abdirrahman
·            Nasab beliau: An Nasa`i dan An Nasawi, yaitu nisbah kepada negri asal beliau, tempat beliau di lahirkan. Satu kota bagian dari Khurasan.
·            Tanggal lahir: tahun 215 hijriah
·            Sifat-sifat beliau: An Nasa`i merupakan seorang lelaki yang ganteng, berwajah bersih dan segar, wajahnya seakan-akan lampu yang menyala. Beliau adalah sosok yang karismatik dan tenang, berpenampilan yang sangat menarik.
Kondisi itu karena beberapa faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan banyak makan ayam.
            B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Imam Nasa`i memulai menuntut ilmu lebih dini, karena beliau mengadakan perjalanan ke Qutaibah bin Sa’id pada tahun 230 hijriah, pada saat itu beliau berumur 15 tahun. Beliau tinggal di samping Qutaibah di negrinya Baghlan selama setahun dua bulan, sehingga beliau dapat menimba ilmu darinya begitu banyak dan dapat meriwayatkan hadits-haditsnya.
Imam Nasa`i mempunyai hafalan dan kepahaman yang jarang di miliki oleh orang-orang pada zamannya, sebagaimana beliau memiliki kejelian dan keteliatian yang sangat mendalam. maka beliau dapat meriwayatkan hadits-hadits dari ulama-ulama kibar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang lainnya, sehingga beliau dapat menghafal banyak hadits, mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya beliau memperoleh derajat yang pantas dalam disiplin ilmu ini.
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana beliaupun telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk melakukan pekerjaan ini, bahkan beliau memiliki kekuatan kritik yang detail dan akurat, sebagaimana yang di gambarkan oleh al Hafizh Abu Thalib Ahmad bin Sazhr; ‘ siapa yang dapat bersabar sebagaimana kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci - yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah-, maka dia tidak meriwayatkan hadits darinya.’ Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dla’if.
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi beliau bukan hanya memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi beliau berkeinginan untuk memberikan nasehat dan menseterilkan syarea’at (dari bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan)
        C.      Guru-guru beliau
Kemampuan intelektual Imam Nasa’i menjadi matang dan berisi dalam masa lawatan ilmiahnya. Namun demikian, awal proses pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan intelektual, sementara masa lawatan ilmiahnya dinilai sebagai proses pematangan dan perluasan pengetahuan.
Diantara guru-guru beliau, yang teradapat didalam kitab sunannya adalah sebagai berikut;
1.          Qutaibah bin Sa’id
2.          Ishaq bin Ibrahim
3.          Hisyam bin ‘Ammar
4.          Suwaid bin Nashr
5.          Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi
6.          Abu Thahir bin as Sarh
7.          Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri
8.          Ishaq bin Rahawaih
9.          Al Harits bin Miskin
10.      Ali bin Kasyram
11.      Imam Abu Dawud
12.      Imam Abu Isa at Tirmidzi

         D.     Hasil karya beliau
Imam Nasa`i mempunyai beberapa hasil karya, diantaranya adalah;
1.          As Sunan Ash Shughra
2.          As Sunan Al Kubra
3.          Al Kuna
4.          Khasha`isu ‘Ali
5.          ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah
6.          At Tafsir
7.          Adl Dlu’afa wa al Matrukin
8.          Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar
9.          Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid
10.      Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah
11.      Musnad ‘Ali bin Abi Thalib
12.      Musnad Hadits Malik

         E.    Wafatnya beliau
Setahun menjelang kemangkatannya, beliau pindah dari Mesir ke Damsyik. Dan tampaknya tidak ada konsensus ulama tentang tempat meninggal beliau. Al-Daruqutni mengatakan, beliau di Makkah dan dikebumikan diantara Shafa dan Marwah. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-’Uqbi al-Mishri.
Sementara ulama yang lain, seperti Imam al-Dzahabi, menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan, Imam al-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini didukung oleh Ibn Yunus, Abu Ja’far al-Thahawi (murid al-Nasa’i) dan Abu Bakar al-Naqatah. Menurut pandangan terakhir ini, Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina. Inna lillah wa Inna Ilai Rajiun. Semoga jerih payahnya dalam mengemban wasiat Rasullullah guna menyebarluaskan hadis mendapatkan balasan yang setimpal di sisi Allah. Amiiin.


6.      IMAM IBNU MAJAH, MUHAMMAD BIN YAZID BIN MAJAH 

A.   Pertumbuhan beliau
·            Nama: Muhammad bin Yazid bin Mâjah al Qazwînî.
·            Nama yang lebih familier adalah Ibnu Mâjah yaitu laqab bapaknya (Yazîd). Bukan nama kakek beliau.
·            Kuniyah beliau: Abu ‘Abdullâh
·            Nasab beliau:
1.         Ar Rib’I; merupakan nisbah wala` kepada Rabi’ah, yaitu satu kabilah arab.
2.         al Qazwînî adalah nisbah kepada Qazwîn yaitu nisbah kepada salah satu kota yang terkenal di kawasan ‘Iraq.
·            Tanggal lahir: Ibnu Majah menuturkan tentang dirinya; "aku dilahirkan pada tahun 209 hijirah. Referensi-referensi yang ada tidak memberikan ketetapan yang pasti, di mana Ibnu Majah di lahirkan, akan tetapi masa pertumbuhan beliau berada di Qazwin. Maka bisa jadi Qazwin merupakan tempat tinggal beliau.

B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Ibnu majah memulai aktifitas menuntut ilmunya di negri tempat tinggalnya Qazwin. Akan tetapi sekali lagi referensi-referensi yang ada sementara tidak menyebutkan kapan beliau memulai menuntut ilmunya. Di Qazwin beliau berguru kepada Ali bin Muhammad at Thanafusi, dia adalah seorang yang tsiqah, berwibawa dan banyak meriwayatkan hadits. Maka Ibnu Majah tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia memperbanyak mendengar dan berguru kepadanya. Ath Thanafusi meninggal pada tahun 233 hijriah, ketika itu Ibnu Majah berumur sekitar 24 tahun. Maka bisa di tarik kesimpulan bahwa permulaan Ibnu Majah menuntut ilmu adalah ketika dia berumur dua puluh tahunan.
Ibnu Majah termotivasi untuk menuntut ilmu, dan dia tidak puas dengan hanya tinggal di negrinya, maka beliaupun mengadakan rihlah ilmiahnya ke sekitar negri yang berdampingan dengan negrinya, dan beliau mendengar hadits dari negri-negri tersebut.
C.      Guru-guru beliau
Ibnu Majah sama dengan ulama-ulama pengumpul hadits lainnya, beliau mempunyai guru yang sangat banyak sekalia. Diantara guru beliau adalah;
1.          ‘Ali bin Muhammad ath Thanâfusî
2.          Jabbarah bin AL Mughallas
3.          Mush’ab bin ‘Abdullah az Zubair
4.          Suwaid bin Sa’îd
5.          Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî
6.          Muhammad bin Ramh
7.          Ibrahîm bin Mundzir al Hizâmi
8.          Muhammad bin Abdullah bin Numair
9.          Abu Bakr bin Abi Syaibah
10.      Hisyam bin ‘Ammar
11.      Abu Sa’id Al Asyaj

D.     Hasil karya beliau
Ibnu Majah adalah seorang ulama penyusun buku, dan hasil karya beliau cukuplah banyak. Akan tetapi sangat di sayangkan, bahwa buku-buku tersebut tidak sampai kekita. Adapun diantara hasil karya beliau yang dapat di ketahui sekarang ini adalah:
1.          Kitab as-Sunan yang masyhur
2.          Tafsîr al Qurân al Karîm
3.          Kitab at Tarîkh yang berisi sejarah mulai dari masa ash-Shahâbah sampai masa beliau.



E.       Wafatnya beliau
Beliau meninggal pada hari senin, tanggal duapuluh satu ramadlan tahun dua ratus tujuh puluh tiga hijriah. Di kuburkan esok harinya pada hari selasa. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan keridlaan-Nya kepada beliau.


7.      IMAM AHMAD BIN MUHAMMAD BIN HANBAL

             A.    Pertumbuhan beliau
·            Nama: Ahmad bin Muhamad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin 'Auf bin Qasithi bin Marin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa'labah bin Uqbah bin Sha'ab bin Ali bin Bakar bin Wail.
·            Kuniyah: Abu Abdillah
·            Nasab beliau: Bapak dan ibu beliau adalah orang arab, keduanya anak Syaiban bin Dzuhl bin Tsa'labah, seorang arab asli. Bahkan nasab beliau bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Nazar.
·            Kelahiran beliau: Imam Ahmad dilahirkan di kota Baghdad. Ada yang berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau masih dalam penyusuan. Hari lahir beliau pada tanggal dua puluh Rabi'ul awwal tahun 164 hijriah.
Ayah Imam Ahmad dan kakeknya meninggal ketika beliau lahir, sehingga semenjak kecil ia hanya mendapatkan pengawasan dan kasih sayang ibunya saja. Jadi, beliau tidak hanya sama dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah nasab saja, akan tetapi beliau juga sama dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah yatim.
Meskipun imam Ahmad tidak mewaritsi harta dari ayah dan kakeknya, tetapi beliau telah mewaritsi dari kakeknya kemulian nasab dan kedudukan, sedang dari ayahnya telah mewaritsi kecintaan terhadap jihad dan keberanian. Ayah beliau, Muhammad bin Hambal menemui ajalnya ketika sedang berada di medan jihad, sedang kakeknya, Hambal bin Hilal adalah seorang penguasa daerah Sarkhas, pada saat kekhilafahan Umawiyyah.
              B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179  hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ' ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan  ketika aku berumur empat belas tahun.'
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari', ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh semangat yang tinggi dan tidak mudah putus asa.


           C.      Guru-guru beliau
Semenjak kecil imam Ahmad memulai untuk belajar, banyak sekali guru-guru beliau, diantaranya;
1.          Husyaim bin Basyir, imam Ahmad berguru kepadanya selama lima tahun di kota Baghdad.
2.          Sufyan bin Uyainah
3.          Ibrahim bin Sa'ad
4.          Yahya bin Sa'id al Qaththân
5.          Walîd bin Muslim
6.          Ismail bin 'Ulaiyah
7.          Al Imam Asy Syafi'i
8.          Al Qadli Abu Yusuf
9.          Ali bin Hasyim bin al Barid
10.      Mu'tamar bin Sulaiman
11.      Waki' bin Al Jarrah

           D.     Hasil karya beliau
Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah sebagai berikut :
1.          Al Musnad
2.          Al 'Ilal
3.          An Nasikh wa al Mansukh
4.          Az Zuhd
5.          Al Asyribah
6.          Al Iman
7.          Al Fadla`il
8.          Al Fara`idl
9.          Al Manasik
10.      Tha'atu ar Rasul
11.      Al Muqaddam wa al mu`akhkhar
12.      Jawwabaatu al qur`an

           E.       Wafatnya beliau
Pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajalnya di Baghdad. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau.




8.      IMAM MALIK BIN ANAS AL-MADANI

             A.    Perkenalan
·            Nama: Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abi Âmir bin Amru bin Al Harits bin ghailân bin Hasyat bin Amru bin Harits.
·            Kunyah beliau: Abu Adbillah
·            Nasab beliau:
1.         Al Ashbuhi; adalah nisbah yang di tujukan kepada dzi ashbuh, dari Humair
2.         Al Madani; nisbah kepada Madinah, negri tempat beliau tinggal.
·            Tanggal lahir:
Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H, bertepatan dengan tahun meninggalnya sahabat yang mulia Anas bin Malik. Ibunya mengandung dia selama tiga tahun.
·            Sifat-sifat imam Malik: beliau adalah sosok yang tinggi besar, bermata biru, botak, berjenggot lebat, rambut dan jenggotnya putih, tidak memakai semir rambut, dan beliau menipiskan kumisnya. Beliau senang mengenakan pakaian bersih, tipis dan putih, sebagaimana beliaupun sering bergonta-ganti pakaian. Memakai serban, dan meletakkan bagian sorban yang berlebih di bawah dagunya.

              B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Imam Malik tumbuh ditengah-tengah ilmu pengetahuan, hidup dilingkungan keluarga yang mencintai ilmu, dikota Darul Hijrah, sumber mata air As Sunah dan kota rujukan para alim ulama. Di usia yang masih sangat belia, beliau telah menghapal Al Qur`an, menghapal Sunah Rasulullah, menghadiri majlis para ulama dan berguru kepada salah seorang ulama besar pada masanya yaitu Abdurrahman Bin Hurmuz.
Kakek dan ayahnya adalah ulama hadits terpandang di Madinah. Maka semenjak kecil, Imam Malik tidak meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah dengan kehadiran ulama-ulama besar.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Disamping itu beliau pernah juga berguru kepada para ulama terkenal lainnya
Dalam usia yang terbilang muda, Imam Malik telah menguasai banyak disiplin ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya di salurkan untuk memperoleh ilmu.
          C.      Guru-guru beliau
Imam Malik berjumpa dengan sekelompok kalangan tabi’in yang telah menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang paling menonjol dari mereka adalah Nafi’ mantan budak Abdullah bin ‘Umar. Malik berkata; ‘Nafi’ telah menyebarkan ilmu yang banyak dari Ibnu ‘Umar, lebih banyak dari apa yang telah disebarkan oleh anak-anak Ibnu Umar,’
Guru-guru imam Malik, selain Nafi’, yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
1.          Abu Az Zanad Abdullah bin Zakwan
2.          Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubair
3.          Yahya bin Sa’id Al Anshari
4.          Abdullah bin Dinar
5.          Zaid bin Aslam, mantan budak Umar
6.          Muhammad bin Muslim bin Syihab AzZuhri
7.          Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm
8.          Sa’id bin Abi Sa’id Al Maqburi
9.          Sami mantan budak Abu Bakar

         D.     Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada malam hari tanggal 14 safar 179 H pada usia yang ke 85 tahun dan dimakamkan di Baqî` Madinah munawwarah.


9.      IMAM AD-DARIMI, ABDULLAH BIN ABDURRAHMAN

             A.    Pertumbuhan beliau
·            Nama: Beliau adalah Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad.
·            Kuniyah beliau; Abu Muhammad
·            Nasab beliau:
1.         At Tamimi; adalah nisbah yang ditujukan kepada satu qabilah Tamim.
2.         Ad Darimi; adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at Tamimi. Dengan nisbah ini beliau terkenal.
3.         As Samarqandi; yaitu nisbah kepada negri tempat tinggal beliau
·            Tanggal lahir:
Ia di lahirkan pada taun 181 H, sebagaimana yang di terangkan oleh imam Ad Darimi sendiri, beliau menuturkan; 'aku dilahirkan pada tahun meninggalnya Abdullah bin al Mubarak, yaitu tahun seratus delapan puluh satu.
Ada juga yang berpendapat bahwa beliau lahir pada tahun seratus delapan puluh dua hijriah.
             
               B.      Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Allah menganugerahkan kepada iama Ad Darimi kecerdasan, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Beliau berjumpa dengan para masyayikh dan mendengar ilmu dari mereka. Akan tetapi sampai sekarang kami tidak mendapatkan secara pasti sejarah beliau dalam memulai menuntut ilmu
Beliau adalah sosok yang tawadldlu' dalam hal pengambilan ilmu, mendengar hadits dari kibarul ulama dan shigharul ulama, sampai-sampai dia mendengar dari sekelompok ahli hadits dari kalangan teman sejawatnya, akan tetapi dia jua seorang yang sangat selektif dan berhati-hati, karena dia selalu mendengar hadits dari orang-orang yang terpercaya dan tsiqah, dan dia tidak meriwayatkan hadits dari setiap orang.
          C.      Guru-guru beliau
Guru-guru imam Ad Darimi yang telah beliau riwayatkan haditsnya adalah;
1.          Yazid bin Harun
2.          Ya'la bin 'Ubaid
3.          Ja'far bin 'Aun
4.          Basyr bin 'Umar az Zahrani
5.          'Ubaidullah bin Abdul Hamid al Hanafi
6.          Hasyim bin al Qasim
7.          'Utsman bin 'Umar bin Faris
8.          Sa'id bin 'Amir adl Dluba'i

          D.     Hasil karya beliau
1.          Sunan ad Darimi.
2.          Tsulutsiyat (kitab hadits)
3.          al Jami'
4.          Tafsir

          E.       Wafatnya beliau
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis bertepatan dengan hari tarwiyyah, 8 Dzulhidjah, setelah ashar tahun 255 H, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).