Ikhlas Itu Mudah atau Sulit?
Ditulis Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Inilah
Sufyan bin Sa'id Ats-Tsauri, seorang ulama hadis yang sangat
berpengaruh. Keutamaannya dalam ilmu hadis membuat Yahya bin Ma'in dan
beberapa ulama lainnya memberi julukan "Amirul Mukminin fil Hadits".
Hanya dua orang yang pernah mendapat julukan tersebut, satu lagi adalah
Malik bin Anas, meskipun keduanya bukanlah orang yang menyukai
gelaran-gelaran hebat yang disematkan kepadanya. Ini merupakan gelaran
yang dikatakan orang atas dirinya, bukan dianugerahkan kepadanya lalu
diterima dengan hati bangga.
Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah Ta'ala pernah mengingatkan kita, ”Tidaklah aku obati
sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa
berbolak-balik pada diriku.”
Apa maknanya? Tidak ada yang
lebih berat dalam beramal melebihi urusan menata niat. Sesungguhnya
sebaik-baik niat adalah yang ikhlas, yakni memaksudkan amal dan ibadah
semata-mata hanya untuk meraih ridha Allah subhanahu wa ta'ala. Satu hal
yang perlu kita garis bawahi di sini adalah, ikhlas itu berkait dengan
sesuatu yang kita lakukan, kita perbuat, bukan sesuatu yang menimpa
kepada kita. Adapun perbuatan atau tindakan tersebut kita kerjakan hanya
untuk meraih ridha Allah 'Azza wa Jalla. Maka jika ada hal tak
menyenangkan yang menimpa kita, urusannya bukanlah soal ikhlas. Bukan.
Sama sekali tak berkait dengan keikhlasan.
Nasehat Sufyan
Ats-Tsauri rahimahullah ini mengingatkan kita pada perkataan seorang
ulama besar yang masyhur, yakni Yahya bin Katsir. Beliau berkata,
”Belajarlah niat karena niat lebih penting daripada amal.”
Mengapa
niat lebih penting daripada amal? Sebabnya, niatlah yang menentukan
nilai amal. Niat yang baik menjadikan amalan yang tampak kecil dan
ringan bernilai sangat berat dan mulia di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.
Niat buruk tak menjadikan seseorang memperoleh dosa karena belum
dicatat sebagai keburukan, sementara niat baik sudah mendapat pahala dan
bertambahlah apabila niat baik tersebut diwujudkan dalam perbuatan.
Tetapi niat yang sungguh-sungguh ingin kita wujudkan atau disebut
shiddiqun niyah (niat yang jujur) akan mengantarkan kepada dosa jika itu
keburukan, meski tak sampai melakukan, atau pada pahala. Keduanya
--dosa maupun pahala-- sebesar orang yang melakukannnya. Na'udzubillahi min dzaalik.
Berkenaan
dengan kedudukan ikhlas, mari kita perhatikan nasehat Yusuf bin Al
Husain Ar-Razi rahimahullah, ”Sesuatu yang paling sulit di dunia ini
adalah ikhlas. Betapa sering aku berusaha mengenyahkan riya’ dari dalam
hatiku, namun sepertinya ia kembali muncul dengan warna yang lain.”
Perkataan
Yusuf Ar-Razi rahimahullah ini sekali menunjukkan betapa sulitnya
meraih ikhlas dan menjaganya agar tetap bersih. Maka, mendidik niat dan
berusaha membenahinya merupakan hal yang sangat penting. Begitu kita
meremehkan, maka kita akan tergelincir kepada buruknya niat; merasa tak
bermasalah, padahal amat perlu ditangisi. Bukankah yang menyebabkan
seorang mujahid yang mati saat berjihad justru terjerumus ke dalam api
neraka adalah bersebab salah niat? Bukankah yang menyebabkan ahli
sedekah masuk neraka juga karena rusaknya niat?
Terkait hal ini, silakan baca kembali tulisan terdahulu bertajuk Salah Sedekah Masuk Neraka.
Maka,
alangkah mengherankan ketika ada sebagian penceramah yang
memudah-mudahkan soal ikhlas. Seseorang di antaranya berkata, "Ikhlas
itu sulit atau mudah?"
Para mustami'in (audiens) hening sejenak. Kemudian ustadz tersebut berkata, "Mudah atau sulit, tergantung persepsi kita."
Dheggg...
Mendengarkan perkataan yang menempatkan persepsi sebagai penentu paling
penting, segera mengingatkan saya pada keyakinan dasar di salah satu
cabang New Age Movement (NAM) yang berupa pelatihan. Tetapi
saya bersangka-baik kepada Ustadz tersebut. Saya kesampingkan dulu risau
saya ini. Kalaulah beliau ini terpengaruhi oleh salah satu keyakinan
NAM, semoga itu semata karena ketidaktahuannya. Meski demikian, andai
kita menempatkan keyakinan bahwa sebaik-baik perkataan adalah kalamuLLah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu 'alaihi
wa sallam, sepatutnya hal itu tidak terjadi.
"Kalau kita
menganggap mudah, ikhlas itu jadi mudah. Tapi kalau kita menganggap
sulit, kita akan sulit ikhlas," katanya melanjutkan, "Betul tidak?"
"Coba
saya mau tanya, kalau suatu hari ibu-ibu dihadang perampok di tengah
jalan dan mereka mengancam akan membunuh jika tidak mau menyerahkan uang
di dompet ibu, kira-kira milih ikhlas atau tidak?" kata Ustadz ini
meneruskan penjelasannya.
Saya tersentak, meski memilih
untuk tetap diam. Ini bukanlah yang pertama orang mengambil contoh
tentang ikhlas, tetapi sebenarnya tidak berhubungan dengan masalah
keikhlasan sama sekali. Mari kita ingat sejenak bahwa ikhlas itu adalah melakukan sesuatu semata hanya untuk memperoleh ridha Allah Ta'ala.
Adapun jika kita ditimpa suatu keadaan atau kejadian, maka urusannya
berkait dengan ridha (rela, senang hati, menerima dengan lapang). Kita
ridha atau tidak dengan tindakan tersebut.
Kasus
perampokan yang diilustrasikan tersebut misalnya, bisa saja seseorang
memilih tidak melawan, tapi itu bukan karena ridha hartanya dirampok. Ia
membiarkan uangnya dirampas semata untuk menghindari kejahatan lebih
besar. Dalam hal ini, jangankan ikhlas, ridha pun tidak. Ia tidak
merelakan hartanya dirampok, meskipun memilih tidak melawan. Justru
salah kalau ia ridha terhadap kejahatan. Ia memang harus (setidaknya
belajar untuk) ridha terhadap takdir yang menimpanya, tapi bukan
meridhai perampokan.
Alhasil, meski yang dibahas oleh
ustadz tersebut berkaitan dengan ikhlas, tetapi sebenarnya tidak
berkaitan dengan ikhlas sama sekali. Sejauh ini, saya belum pernah
mendapatkan contoh pembahasan yang benar-benar relevan dari para
pembicara terkini yang memudah-mudahkan ikhlas. Umumnya ketika
meyakinkan bahwa ikhlas itu sangat mudah, yang dicontohkan adalah
berkait dengan ridha. Itu pun tidak menyentuh substansi ridha.
Sebagaimana ilustrasi pilihan sikap saat menghadapi perampokan, bisa
saja seseorang memutuskan tidak melawan, tapi sama sekali rela dan
senang hati menyerahkan hartanya secara paksa.
Semoga
catatan ini bermanfaat. Semoga kita dapat senantiasa bercermin kepada
para salafush-shalih dan mengambil pelajaran dari perkataan mereka.
Sesungguhnya mereka lebih dekat dengan mata air agama ini, yakni
Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang padanya Al-Qur'an
diturunkan dan darinya kita mengambil sunnah.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar