Judul : Mengharap Ampunan
12 Juli 2013 pukul 23:44
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Tiap kita punya dosa. Tak satu pun dari kita yang terluput dari
kesalahan. Jika Ramadhan pun merasa aman, lalu kapan memohon ampunan?
Mari kita ingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ”
“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan & sebaik-baik yang melakukan kesalahan adalah mereka yang banyak bertaubat.” (HR Ibnu Majah).
Tidak ada yang ma’shum selain Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Jika beliau saja setiap hari memohon ampun sepenuh kesungguhan, maka
apakah kepantasan kita menganggap dosa diampuni dengan sendirinya tanpa
menginsyafi kesalahan dan memohon ampunan penuh kesungguhan? Orang yang
berpuasa di bulan Ramadhan memang akan mendapat ampunan. Tetapi,
termasuk kitakah itu? Mari sejenak menilik diri (introspeksi).
Renungkanlah hadis berikutnya:
“مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ”
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena keimanan & mengharap
pahala (dari Allah Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis ini menunjukkan, siapa yang memperoleh ampunan dari Allah Ta’ala di bulan Ramadhan. Tetapi termasuk kitakah?
Hanya mereka yang berpuasa benar-benar karena iman dan mengharap
pahala Allah Ta’ala saja yang akan mendapat ampunan di bulan Ramadhan
ini. Pertanyaannya, sudah benar-benar berimankah kita? Atau saat
mengawali Ramadhan saja kita sudah merindukan ‘Idul Fithri?
Betapa sering hati ini risau tiap mendengar khutbah ‘Idul Fithri.
Tanpa introspeksi, banyak khatib yang mengajak berbangga seakan dosa
kita telah terhapus semua tanpa peduli apa upaya yang kita lakukan dalam
menjalani Ramadhan.
Alangkah berbedanya kita dengan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, orang yang paling dekat dengan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ujung
Ramadhan mereka adalah airmata karena mengkhawatiri amal dan ‘ibadah
tak diterima; mengkhawatiri kualitas ibadah dan amal shalih. Sementara
banyak dari kita yang justru bergembira karena saat istimewa bernama
Ramadhan segera usai. | Alangkah berbeda diri ini…
Kita memang perlu memberi kabar gembira tentang ampunan Allah Ta’ala,
tapi bukan untuk melalaikan mereka bahwa seluruh dosa pasti terampuni.
Andaikata puasa kita termasuk yang bernilai tinggi, maka berbenah tetap
penting untuk menjaga & meningkatkan lagi. Apatah lagi jika puasa
kita hanya mendapatkan lapar dan dahaga tanpa pahala bersebab tak
meninggalkan perusak-perusak puasa, maka patutkah kita berbangga?
Termangu. Jika kita merasa derajat puasa kita amat tinggi, adakah kita sudah dekati apa yang biasa dilakukan salafush-shalih saat Ramadhan? Adakah menu berbuka kita mendekati apa yang Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam contohkan? Atau mirip menu prasmanan walimah yang wah?*
Kulwit Fauzil Adhim bisa dibaca di @Kupinang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar